DEN SHOIM

CATATAN HARIAN | BONSAI | TANAMAN HIAS | TANAMAN HERBAL | BIBIT | URBAN FARMING

Maret 12, 2018
0
Ing ngarso sung tulodo, itu prinsip kepemimpinan Ki Hajar Dewantara. Artinya, di depan memberi teladan atau contoh. Pemimpin adalah teladan bagi yang dia pimpin. Itu hal yang logis belaka. Seseorang yang tidak mencontohkan hal-hal yang dia inginkan terjadi, bukan seorang pemimpin. Ia mungkin hanya pejabat, seseorang yang menduduki jabatan.

Dalam hal apa seseorang harus menjadi teladan? Ada banyak aspek. Yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah keteladanan dalam hal kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan melakukan sesuatu, menangani masalah. Pemimpin harus punya ini.

Pemimpin yang kompeten tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Ia tahu siapa yang harus ia tugaskan untuk melakukan pekerjaan. Ia bisa memberi arahan yang tegas dan jelas tentang apa yang harus dilakukan. Ia juga bisa mengorganisir, sehingga semua elemen yang ia pimpin bersinergi untuk mencapai hasil terbaik.

Apa yang terjadi bila pemimpin tidak kompeten? Ia akan merecoki pekerjaan bawahannya. Ia memberi perintah yang salah, menugaskan orang yang salah, dan membuat elemen-elemen yang ia pimpin berantakan. Ia juga akan menetapkan target, menyusun jadwal, atau membuat anggaran yang tidak masuk akal. Karena ia tidak tahu bagaimana melakukan pekerjaan dengan benar.

Cirinya adalah memakai prinsip "pokoknya". Pokoknya harus beres. Pokoknya kamu harus kerjakan. Kenapa pokoknya? Karena ia tidak sanggup menjelaskan dengan logis. Pokoknya itu adalah prinsip orang yang tidak tahu dan tidak mau tahu.

Pemimpin yang kompeten akan jadi inspirasi bagi orang yang ia pimpin. Rekam jejaknya dibangun dengan kompetensi. Ia menjadi roadmap bagi yang ia pimpin, tentang kompetensi apa yang harus dikumpulkan dan dikuasai sehingga kelak bawahannya pun akan bisa mencapai posisi yang ia duduki sekarang. Posisi adalah buah dari kompetensi.

Sebaliknya, pemimpin yang tidak kompeten, tidak bisa dijadikan pedoman. Toh tanpa kompetensi ia bisa menduduki jabatan. Jadi, untuk apa meningkatkan kompetensi?

Salah satu sosok yang bisa kita jadikan ilustrasi untuk menjelaskan pemimpin kompeten adalah Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Ia adalah walikota "tukang sapu". Ia dulu pernah jadi Kepala Dinas Kebersihan Kota. Ia kompeten dalam menata kebersihan kota, mengelola organisasi yang bertugas untuk melakukan hal itu. Ia bisa mengelola orang, infrastruktur, dana, dan segala sumber daya yang diperlukan. Tapi tidak hanya itu. Risma mahir menyapu, membersihkan got, dan menebas rumput. Ia ahli dalam hal itu.

Ketika ia jadi walikota tentu ia tidak sekadar hanya bertanggung jawab soal kebersihan. Ia harus mengelola soal-soal terkait transportasi, tata kota, ekonomi, kependudukan, dan sebagainya. Apakah dia memiliki kompetensi di bidang itu semua? Ya. Tapi tentu saja tidak perlu sampai ke hal-hal teknis yang kecil-kecil. Namun ia harus tahu bagaimana masalah harus diselesaikan.

Bagaimana kalau tidak tahu? Ia akan belajar. Pemimpin yang kompeten adalah seorang pembelajar. Ia akan belajar dengan cepat. Ia tahu kepada siapa, atau dengan cara apa ia harus belajar.

Pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang tidak sadar bahwa ia tidak kompeten. Ia tidak belajar. Ia terlalu angkuh untuk belajar, juga terlalu pongah untuk mengakui keberhasilan orang lain. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa menyelesaikan masalah. Bagaimana caranya? Tidak tahu. Pokoknya selesaikan. Kalau tidak, nanti saya beri sanksi! (sumber)