DEN SHOIM

CATATAN HARIAN | BONSAI | TANAMAN HIAS | TANAMAN HERBAL | BIBIT | URBAN FARMING

November 14, 2016
0
Kang Hasan: enjadi orang tua itu belajar
Ilustrasi: menjadi orangtua (facebook Den Shoim)
Ketika saya mengatakan bahwa orang tua wajib menjadi guru bagi anak-anaknya, dan saya ceritakan aktivitas saya bersama anak-anak, banyak yang menolak. “Iya, kamu bisa begitu karena mudah buat kamu. Kamu doktor di bidang sains. Lha kami ini apa? Nggak mungkin kami bisa seperti kamu.” kata beberapa orang. Itu cara yang umum untuk menyatakan keengganan. Kau punya sesuatu yang aku tidak punya, karena itu kau bisa dan aku tidak. Sebuah apologi.

Saya memang doktor sains, tapi saya bukan manusia serba bisa. Untuk pelajaran sosial saya bukan ahlinya. Saya harus belajar sebelum mendampingi anak-anak saya belajar. Saya harus membaca ulang buku-buku, mengumpulkan bahan dari internet, menyusunnya menjadi bahan pelajaran yang menarik. Semua orang harus belajar lagi agar bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak mereka.

Saya jadi teringat pada kata-kata yang agak pedas dari seroang teman. “Menikah itu bukan sekedar menyatukan asmara antara dua orang. Terlebih, pernikahan itu bukan sekedar sarana untuk mendapatkan hubungan seks yang halal. Menikah itu adalah perjuangan panjang untuk menjadi bapak dan ibu.”

Banyak hal yang harus dipelajari oleh pasangan suami istri. Ketika istri mulai hamil, misalnya, pasangan harus tahu bagaimana perlakuan terhadap kehamilan, resiko apa yang dihadapi pada setiap tahapan, tindakan apa yang harus dilakukan dan dihindari. Ketika bayi sudah lahir, lebih banyak lagi hal yang harus dipelajari. Orang tua harus belajar hal-hal sederhana seperti cara memasang popok dan memandikan bayi. Mereka juga harus belajar tentang seluk beluk kesehatan bayi. Ketika bayi sudah tumbuh beberapa bulan, harus mulai pula belajar tentang gizi dan makanan pendamping ASI.

Pada setiap perkembangan anak, selalu ada hal yang harus dipelajari. Ketika anak sudah mulai bisa bicara, mereka perlu diajari cara berkomunikasi. Fisik mereka perlu dilatih agar kemampuan motorik halus dan kasar tumbuh dengan baik. Ketika anak-anak mulai memasuki usia remaja, komunikasi dengan mereka menjadi soal yang tak mudah. Di saat itupun para orang tua perlu belajar lagi. Pendek kata, belajar adalah hal yang harus terus menerus dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Semakin besar anak semakin kompleks masalah yang dihadapi orang tua. Itu artinya makin banyak hal yang harus mereka pelajari.

Mempelajari materi pelajaran anak adalah hal yang paling mudah dilakukan dibanding dengan hal-hal lain yang saya sebutkan di atas. Kita tinggal membaca ulang buku-buku pelajaran, mengingat ulang, lalu kita susun strategi komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan anak kita. Tidak ada yang sulit. Yang paling sulit hanyalah membangunkan diri untuk sadar bahwa kita punya kewajiban untuk mengajari anak-anak kita. Orang-orang yang enggan belajar untuk keperluan anak-anaknya sebaiknya memutuskan untuk tidak punya anak saja.

Satu hal lagi, kita selalu melihat contoh yang ada pada diri orang lain, lalu lupa melihat potensi kita. Dalam suatu seminar parenting, seorang peserta bertanya,”Saya ini tuna netra. Bagaimana nanti anak saya melihat saya dengan kekurangan saya ini?” Saya jawab,”Itu bukan kekurangan. Itu adalah kelebihan Anda. Kalau anak Anda merasakan cinta Anda, ia akan lebih bangga kepada Anda dibanding anak-anak lain yang orang tuanya tidak tuna netra.”

Kita tidak perlu menjadi orang lain yang bukan diri kita untuk menjadi orang tua yang baik. Tidak perlu menjadi ahli sains untuk bisa membimbing anak dalam hal sains. Mulailah dari hal yang kita bisa. Kita adalah orang tua yang hebat kalau kita bisa membagikan apapun yang kita miliki untuk dipelajari anak kita. Pada hal yang kita tidak bisa, apa boleh buat, kita boleh minta bantuan orang lain. Ketika anak saya ingin belajar main gitar, saya masukkan dia ke tempat les musik, karena saya tidak bisa main gitar.

Intinya adalah, apakah kita mau menjadi guru bagi anak kita, atau kita lebih suka menyerahkan urusan membimbing mereka kepada orang lain. Masalahnya, seperti pada banyak kasus lain, tidak bisa atau tidak mau. ( Sumber: Kang Hasan )